I.
Pendahuluan
Pangan merupakan
kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi
setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan
salah satu hak asasi manusia,
sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun
dalam Deklarasi Roma (1996).
Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996
tentang Pangan.
Ketahanan pangan dan
keamanan pasokan pangan bagi Indonesia yang antara lain
dapat dicapainya swasembada pangan pokok seperti beras,
jagung, dan kedelai. Selain itu
ketahanan pangan dapat dicirikan juga dengan
berkurangnya ketergantungan terhadap
impor. Berbagai kebijakan pangan telah diupayakan
pemerintah untuk mengatasi
permasalahan pangan di Indonesia. Namun, kebijakan
tersebut belum dapat dinikmati oleh
seluruh masyarakat Indonesia khususnya rakyat kecil
seperti petani, dan lain-lain. Kebijakan
yang terkait pencanangan Revitalisasi Pertanian pada
tahun 2005 yang lalu antara lain
intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi.
Diversifikasi pangan pokok sebagai pangan
alternatif selain beras difokuskan kepada jagung dan
singkong yang termasuk di dalamnya
pada pembangunan sektor agribisnisnya demi terciptanya
nilai tambah untuk meraih
pendapatan dan akses atas pangan yang lebih baik.
Pada krisis pangan dunia
saat ini perlu dicermati juga dampak positifnya bagi
Indonesia, antara lain berupa meningkatnya devisa dari
hasil ekspor produk pangan dengan
meningkatnya harga-harga produk pangan dunia. Krisis
pangan memberikan dua dimensi
bagi Indonesia yaitu meningkatnya harga pangan yang
mengharuskan Indonesia lebih
waspada terhadap kebutuhan pangannya, namun di sisi
lain meningkatnya harga pangan
merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk menghasilkan
devisa yang lebih besar. Dalam
hal ini pemerintah harus memenuhi dua hal. Pertama,
jaminan atas hak petani untuk
mengakses dan mengontrol berbagai sumber daya produktif
dalam rangka pemenuhan
pangan secara mandiri dan berkelanjutan. Kedua, jaminan
atas hak setiap komunitas
masyarakat di tingkat lokal untuk menentukan sendiri
kebijakan produksi, distribusi, dan
konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi ekologi,
sosial, ekonomi dan budaya masingmasing komunitas (Muchtadi, 2008).
Ketahanan Pangan (food
security) adalah paradoks dan lebih merupakan penemuan
dunia modern. Secara prosentase, lebih banyak produsen
pangan di masa lalu ketimbang
masa kini; tetapi dunia hari ini lebih aman pangan
ketimbang masa lalu. Paradoks ini bisa
terlihat jelas di banyak Negara maju, salah satunya
adalah Ingggris Raya; Prosentase
populasi pertanian di UK tahun 1950 adalah 6 % dan
terus menurun secara drastis hingga 2
% di tahun 2000, dan berdasarkan prediksi FAO (Food
and Agriculture Organisation), jumlah populasi pertanian di Inggris akan terus turun menjadi 1% di tahun
2010. Sederhananya, sekitar
896,000 petani akan memberi makan sedikitnya 60 juta penduduk.
Indonesia saat ini
memiliki 90 juta petani (seratus kali dari Inggris) atau sekitar 45%
penduduk “memberi makan” seluruh pendududuk (sekitar
230 juta orang). Tetapi fakta-fakta
dari Nusa Tenggara Barat (yang kerap dikenal sebagai
daerah lumbung padi) serta daerah
semi arid seperti Nusa Tenggara Timur di semester
pertama tahun 2005, justru menghadapi
ketahanan pangan yang rapuh, terbukti dengan tingginya
tingkat kekurangan pangan dan
gizi buruk.
II.
Teori Ketahanan Pangan
Musyawarah perencanaan
pembangunan pertanian merumuskan bahwa kegiatan
pembangunan pertanian periode 2005-2009 dilaksanakan
melalui tiga program, yaitu (1)
Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program
pengembangan agribisnis, dan (3)
Program peningkatan kesejahteraan petani. Program
ketahanan pangan tersebut diarahkan
pada kemandirian masyarakat/petani yang berbasis
sumberdaya lokal yang secara
operasional dilakukan melalui program peningkatan
produksi pangan; menjaga ketersediaan
pangan yang cukup, aman dan halal di setiap daerah
setiap saat; dan antisipasi agar tidak
terjadi kerawanan pangan.
Definisi dan paradigma
ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak
adanya Conference of Food and Agriculture tahun
1943 yang mencanangkan konsep
“secure, adequate and suitable supply of food for
everyone". Definisi ketahanan pangan
sangat bervariasi, namun umumnya mengacu definisi dari
Bank Dunia (1986) dan Maxwell
dan Frankenberger (1992) yakni "akses semua orang
setiap saat pada pangan yang cukup
untuk hidup sehat (secure access at all times to
sufficient food for a healthy life). Studi
pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999) diperkirakan
terdapat 200 definisi dan 450
indikator tentang ketahanan pangan (Weingartner, 2000).
Berikut disajikan beberapa definisi
ketahanan yang sering diacu :
1. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996: kondisi
terpenuhinya kebutuhan
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup,
baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau.
2. USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap
saat mempunyai akses
secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan
konsumsinya untuk hidup
sehat dan produktif.
3. FAO (1997) : situasi dimana semua rumah tangga
mempunyai akses baik fisik
maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh
anggota keluarganya,
dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan
kedua akses tersebut.
4. FIVIMS 2005: kondisi ketika semua orang pada segala
waktu secara fisik,
social dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang
cukup, aman dan bergizi
untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan
seleranya (food
preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
5. Mercy Corps (2007) : keadaan ketika semua orang pada
setiap saat mempunyai
akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap
kecukupan pangan, aman
dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan
seleranya untuk hidup
produktif dan sehat.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa ketahanan pangan
memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :
1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu
2. Dimensi watu setiap saat pangan tersedia dan dapat
diakses
3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan
individu, baik fisik, ekonomi
dan sosial
4. Berorientasi pada pemenuhan gizi
5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif
Istilah ketahanan pangan (food security) sebagai
sebuah konsep kebijakan baru
pertama kali muncul pada tahun 1974, yakni ketika
dilaksanakannya konferensi pangan
dunia (Sage 2002). Maxwell (1996) mencoba menelusuri
perubahan-perubahan definisi
tentang ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia
1974 hingga pertengahan dekade
90an, perubahan terjadi pada level global, nasional,
skala rumah tangga dan individu; dari
perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food
first perspective) hingga pada perspektif
penghidupan (livelihood perspective) dan dari
indikator-indikator objektif ke persepsi yang
subjektif. (Lihat: Maxwell & Frankenberger 1992).
A. Kelompok Bahan Pangan
Bahan pangan untuk konsumsi sehari-hari dapat
dikelompokkan menjadi 9
(sembilan) kelompok besar. Jenis pangan pada
masing-masing kelompok dapat berbeda
pada setiap daerah/kota sesuai sumberdaya pangan yang
tersedia. Secara Nasional bahan
pangan dikelompokkan sebagai berikut :
1. Padi-padian : beras, jagung, sorghum dan terigu
2. Umbi-umbian : ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas
dan sagu.
3. Pangan hewani : ikan, daging, susu dan telur
4. Minyak dan lemak : minyak kelapa, minyak sawit
5. Buah/biji berminyak : kelapa daging
6. Kacang-kacangan : kedelai, kacang tanah, kacang
hijau
7. Gula : gula pasir, gula merah
8. Sayur dan buah : semua jenis sayuran dan buah-buahan
yang biasa
dikonsumsi
9. Lain-lain : teh, kopi, coklat, sirup, bumbu-
bumbuan, makanan
dan minuman jadi
B. Angka Ketersediaan Energi (AKE) dan Tingkat Konsumsi
Energi (TKE)
Angka ketersediaan energi (AKE) mencerminkan besarnya
proporsi ketersediaan
energi aktual penduduk di suatau daerah. Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998
telah menetapkan standar energi ideal yang diharapkan
yaitu sebesar 2.200 kkal/kap/hari di
tingkat konsumsi dan 2500 kkal/kap/hari pada tingkat
nasional. Untuk mengetahui pola
konsumsi masyarakat baik Nasional maupun Regional, AKE
tersebut perlu diterjemahkan ke
dalam satuan yang lebih dikenal oleh para perencana
pengadaan pangan atau kelompok
bahan pangan.
Untuk menjaga kelangsungan hidup dan menjalankan
kegiatan hidupnya. Setiap
manusia membutuhkan energi perhari yang disesuaikan
dengan berat badan dan tingkat
aktivitas. Tingkat Konsumsi Energi adalah Jumlah energi
total yang dikonsumsi oleh setiap
orang setiap harinya. Sedangkan tingkat konsumsi
protein adalah jumlah protein total yang
dikonsumsi oleh setiap orang setiap harinya
dibandingkan dengan angka kecukupan protein
yang dianjurkan ( I Dewa Nyoman
Supariasa,dkk,2001:113).
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) menggambarkan persentase
konsumsi energi
terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) dengan kriteria
menurut Departemen Kesehatan
Tahun 1996 (PPKP BKP, 2005) sebagai berikut :
a. TKE < 70% : defisit berat.
b. TKE 60%-79% : defisit tingkat sedang.
c. TKE 80%-90% : defisit tingkat ringan.
d. TKE 90%-119% : normal (tahan pangan)
e. TKE > 120% : kelebihan/diatas AKE
C. Pola Pangan Harapan (PPH)
Pola Pangan harapan (PPH) adalah suatu komposisi pangan
yang seimbang untuk
dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. PPH
dapat dinyatakan (1) dalam
bentuk komposisi energi (kalori) anekaragam pangan
dan/atau (2) dalam bentuk komposisi
berat (gram atau kg) anekaragam pangan yang memenuhi
kebutuhan gizi penduduk. Pola
pangan harapan mencerminkan susunan konsumsi pangan
anjuran untuk hidup sehat, aktif
dan produktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nama, Komentar