Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang disembelih yang belum mengalami pengawetan atau pengolahan kecuali kulit, kuku, bulu, dan tanduk (Ressang, 1982). Menurut Soeparno (1992) Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya.
Pengertian lain dari daging yaitu bagian hewan yang disembelih atau dibunuh dan lazim dimakan oleh manusia kecuali telah diawetkan dengan cara lain selain didinginkan. Daging juga merupakan komponen utama dari karkas, yang berupa hewan sembelih setelah dikurangi kepala, darah, kulit, isi bagian dada serta metakarpal dan meta tarsal ke bawah.
Secara umum daging yang baik adalah daging yang mempunyai warna cerah, tidak pucat dan mengkilat, tidak ada bau asam, apalagi busuk, konsistensinya liat serta apabila dipegang tidak lekat di tangan dan masih terasa kebasahan (Hadiwiyoto, 1983).
Evaluasi terhadap kualitas dan kesehatan daging dapat dilakukan secara subjektif dan objektif. Penilaian secara subjektif meliputi penilaian terhadap warna, bau, keempukan dan cita rasa, sedangkan penilaian objektif dapat dilakukan dengan bantuan alat-alat laboratoris atau dengan standar perbandingan penilaian objektif meliputi penilaian terhadap pH, kepualaman dan komposisi kimia daging (Arka, 1994).
1. Warna Daging
Warna merah pada daging disebabkan pigmen daging yaitu myoglobin (struktur kimianya mengandung inti Fe2+ yang akan mengalami oksigenasi menjadi oksimyoglobin yang berwarna merah cerah). Daging bila kontak dengan udara luar yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan oksimyoglobin menjadi metmyoglobin (MMb) dan warna daging berubah menjadi coklat.
Apabila metmyoglobin trekontaminasi dengan bakteri, maka daging akan berubah warna menjadi hijau hal tersebut terjadi karena terbentuknya sulfmyoglobin dan cholemyoglobin, akibat oksidasi dan denaturasi dengan cepat berubah menjadi porpirrin dengan warna kuning sampai coklat atau tidak berwarna (Arka dkk, 1998).
Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen (Soeparno, 1992).
2. Bau Daging
Bau daging disebabkan oleh fraksi yang mudah menguap dimana pada jaringan otot yang masih hidup mengandung adenosin-5-trifosfat yang dikonfersi setelah penyembelihan menjadi inosin-5-monofosfat. Daging yang masih segar berbau seperti darah segar (Arka dkk, 1998).
Ciri-ciri bau daging yang baik secara spesifik yaitu tidak ada bau menyengat, tidak berbau amis, dan tidak berbau busuk. Bau daging bisa juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, suhu, cara penyimpanan, peralatan yang digunakan, dan kemasan yang digunakan.
Cara penanganan daging yang higienis yaitu dengan memantau asal daging yang berasal dari ternak yang sehat dengan pengawasan dari dokter hewan, suhu penyimpanan untuk daging segar 2 0C - 4 0C, peralatan yang digunakan terjaga kebersihan dan sanitasinya, kemasan yang digunakan tidak terbuat dari bahan yang mencemari daging.
Kualitas daging yang baik dengan kesehatan daging yang memadai dan boleh beredar di masyarakat sebaiknya mempunyai keasaman antara 5,3 – 5,8 , tidak terdapat tenunan pengikat, kepualamannya bernilai 3, beban kuman maksimum 0,5 juta/gr, sedangkan untuk coliform maksimum 100/gr daging.
3. Konsistensi dan Tekstur
Ada dua tekstur otot yaitu tekstur kasar dengan ikatan - ikatan serabut yang besar, dan tekstur halus dengan ikatan - ikatan serabut yang kecil (Soeparno, 1992).
Konsistensi daging biasanya dinyatakan dengan : liat, lembek, berair (firmness-softness-juiciness). Konsistensi daging ditentukan oleh banyak sedikitnya jaringan ikat yang menyusun otot tersebut. Daging yang segar terasa liat sedangkan yang mulai membusuk terasa berair (Arka dkk, 1998).
4. Jaringan Ikat dan Kepualaman
Jaringan ikat dan bintik lemak termasuk salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas daging secara subjektif. Semakin banyak bintik lemak maka semakin baik cita rasa daging untuk dikonsumsi. Jaringan ikat sebagai indikator dari adanya perlukaan sedangkan titik lemak sebagai indikator tingkat obesitas hewan.
5. PH Daging
Menurut Arka dkk (1998) pH otot sewaktu ternak masih hidup berkisar antara 7,2 – 7,4. Setelah pemotongan pH nya akan menurun terus dalam 24 jam sampai beberapa hari menjadi 5,3 – 5,5. Hal ini disebabkan terbentuknya asam laktat, sebagai akibat proses terjadinya glikolisis dalam daging, yaitu proses pemecahan molekul glikogen menjadi asam laktat.
Secara umum pH daging dipengaruhi oleh laju glikolisis post-mortem, stress sebelum disembelih, cadangan glikogen otot, jenis otot dan aktifitas enzim.
6. Daya Ikat Air dan Kadar Air
Air adalah komposisi utama cairan ekstraseluler. Air daging mempengaruhi kualitas daging, terutama terhadap kebasahan, keempukan, warna dan citarasa.
Air yang ada dalam daging juga merupakan medium universal dari reaksi-reaksi kimia, biokimia, dan biologi, termasuk sebagai medium untuk menstransformasikan substrat-substrat diantara sistem vaskuler dan serabut otot.
Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding capacity atau water-binding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno, 1992).
7. Penetapan Jumlah Kuman dalam Daging
Menurut Lawrie, (1985) seperti yang dikutip dalam Soeparno (1992), mikroorganisme yang berasal dari para pekerja, antara lain adalah Salmonella, Shigella, E. Coli, Bacillus proteus, Staphylococcus albus dan Staphylococcus aureus, Clostridium walchii, Bacillus cereus dan Streptococcus dari feses. Clostridium botulinum yang berasal dari tanah juga dapat mengkontaminasi daging atau karkas.
Untuk menilai kualitas daging segar adalah standar cemaran bakteri yaitu Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB) tidak lebih dari 106 per gram sampel, Most Probable Number (MPN) Coliform tidak lebih dari 102 per gram sampel.
Jumlah kuman yang masih dikatagorikan memenuhi syarat untuk babi tidak antara 0,9 juta - 1,4 juta per gram, kuman coliform agak tinggi, yaitu 38000 - 710000 per gram daging (Arka, 1984, 1990, Suyasa, 1988).Adanya bakteri pada daging dapat mempercepat proses pembusukan daging dan adanya bakteri patogen menyebabkan penyakit keracunan makanan bila tertelan oleh konsumen (Arka dkk., 1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nama, Komentar