Tampilkan postingan dengan label pola pangan harapan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pola pangan harapan. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Mei 2012

Ketahanan Pangan

I.                  Pendahuluan

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi
setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia,
sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996).
Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan.
Ketahanan pangan dan keamanan pasokan pangan bagi Indonesia yang antara lain
dapat dicapainya swasembada pangan pokok seperti beras, jagung, dan kedelai. Selain itu
ketahanan pangan dapat dicirikan juga dengan berkurangnya ketergantungan terhadap
impor. Berbagai kebijakan pangan telah diupayakan pemerintah untuk mengatasi
permasalahan pangan di Indonesia. Namun, kebijakan tersebut belum dapat dinikmati oleh
seluruh masyarakat Indonesia khususnya rakyat kecil seperti petani, dan lain-lain. Kebijakan
yang terkait pencanangan Revitalisasi Pertanian pada tahun 2005 yang lalu antara lain
intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi. Diversifikasi pangan pokok sebagai pangan
alternatif selain beras difokuskan kepada jagung dan singkong yang termasuk di dalamnya
pada pembangunan sektor agribisnisnya demi terciptanya nilai tambah untuk meraih
pendapatan dan akses atas pangan yang lebih baik.
Pada krisis pangan dunia saat ini perlu dicermati juga dampak positifnya bagi
Indonesia, antara lain berupa meningkatnya devisa dari hasil ekspor produk pangan dengan
meningkatnya harga-harga produk pangan dunia. Krisis pangan memberikan dua dimensi
bagi Indonesia yaitu meningkatnya harga pangan yang mengharuskan Indonesia lebih
waspada terhadap kebutuhan pangannya, namun di sisi lain meningkatnya harga pangan
merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk menghasilkan devisa yang lebih besar. Dalam
hal ini pemerintah harus memenuhi dua hal. Pertama, jaminan atas hak petani untuk
mengakses dan mengontrol berbagai sumber daya produktif dalam rangka pemenuhan
pangan secara mandiri dan berkelanjutan. Kedua, jaminan atas hak setiap komunitas
masyarakat di tingkat lokal untuk menentukan sendiri kebijakan produksi, distribusi, dan
konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masingmasing komunitas (Muchtadi, 2008).
Ketahanan Pangan (food security) adalah paradoks dan lebih merupakan penemuan
dunia modern. Secara prosentase, lebih banyak produsen pangan di masa lalu ketimbang
masa kini; tetapi dunia hari ini lebih aman pangan ketimbang masa lalu. Paradoks ini bisa
terlihat jelas di banyak Negara maju, salah satunya adalah Ingggris Raya; Prosentase
populasi pertanian di UK tahun 1950 adalah 6 % dan terus menurun secara drastis hingga 2
% di tahun 2000, dan berdasarkan prediksi FAO (Food and Agriculture Organisation), jumlah populasi pertanian di Inggris akan terus turun menjadi 1% di tahun 2010. Sederhananya, sekitar 896,000 petani akan memberi makan sedikitnya 60 juta penduduk.
Indonesia saat ini memiliki 90 juta petani (seratus kali dari Inggris) atau sekitar 45%
penduduk “memberi makan” seluruh pendududuk (sekitar 230 juta orang). Tetapi fakta-fakta
dari Nusa Tenggara Barat (yang kerap dikenal sebagai daerah lumbung padi) serta daerah
semi arid seperti Nusa Tenggara Timur di semester pertama tahun 2005, justru menghadapi
ketahanan pangan yang rapuh, terbukti dengan tingginya tingkat kekurangan pangan dan
gizi buruk.
























II.               Teori Ketahanan Pangan

Musyawarah perencanaan pembangunan pertanian merumuskan bahwa kegiatan
pembangunan pertanian periode 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program, yaitu (1)
Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program pengembangan agribisnis, dan (3)
Program peningkatan kesejahteraan petani. Program ketahanan pangan tersebut diarahkan
pada kemandirian masyarakat/petani yang berbasis sumberdaya lokal yang secara
operasional dilakukan melalui program peningkatan produksi pangan; menjaga ketersediaan
pangan yang cukup, aman dan halal di setiap daerah setiap saat; dan antisipasi agar tidak
terjadi kerawanan pangan.
Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak
adanya Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang mencanangkan konsep
secure, adequate and suitable supply of food for everyone". Definisi ketahanan pangan
sangat bervariasi, namun umumnya mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell
dan Frankenberger (1992) yakni "akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup
untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy life). Studi
pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450
indikator tentang ketahanan pangan (Weingartner, 2000). Berikut disajikan beberapa definisi
ketahanan yang sering diacu :
1. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996: kondisi terpenuhinya kebutuhan
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup,
baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
2. USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses
secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup
sehat dan produktif.
3. FAO (1997) : situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik
maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya,
dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
4. FIVIMS 2005: kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik,
social dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi
untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food
preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
5. Mercy Corps (2007) : keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai
akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap kecukupan pangan, aman
dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup
produktif dan sehat.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan pangan
memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :
1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu
2. Dimensi watu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses
3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi
dan sosial
4. Berorientasi pada pemenuhan gizi
5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif
Istilah ketahanan pangan (food security) sebagai sebuah konsep kebijakan baru
pertama kali muncul pada tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan
dunia (Sage 2002). Maxwell (1996) mencoba menelusuri perubahan-perubahan definisi
tentang ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia 1974 hingga pertengahan dekade
90an, perubahan terjadi pada level global, nasional, skala rumah tangga dan individu; dari
perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective) hingga pada perspektif
penghidupan (livelihood perspective) dan dari indikator-indikator objektif ke persepsi yang
subjektif. (Lihat: Maxwell & Frankenberger 1992).

A. Kelompok Bahan Pangan
Bahan pangan untuk konsumsi sehari-hari dapat dikelompokkan menjadi 9
(sembilan) kelompok besar. Jenis pangan pada masing-masing kelompok dapat berbeda
pada setiap daerah/kota sesuai sumberdaya pangan yang tersedia. Secara Nasional bahan
pangan dikelompokkan sebagai berikut :
1. Padi-padian : beras, jagung, sorghum dan terigu
2. Umbi-umbian : ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas dan sagu.
3. Pangan hewani : ikan, daging, susu dan telur
4. Minyak dan lemak : minyak kelapa, minyak sawit
5. Buah/biji berminyak : kelapa daging
6. Kacang-kacangan : kedelai, kacang tanah, kacang hijau
7. Gula : gula pasir, gula merah
8. Sayur dan buah : semua jenis sayuran dan buah-buahan yang biasa
dikonsumsi
9. Lain-lain : teh, kopi, coklat, sirup, bumbu- bumbuan, makanan
dan minuman jadi

B. Angka Ketersediaan Energi (AKE) dan Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
Angka ketersediaan energi (AKE) mencerminkan besarnya proporsi ketersediaan
energi aktual penduduk di suatau daerah. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998
telah menetapkan standar energi ideal yang diharapkan yaitu sebesar 2.200 kkal/kap/hari di
tingkat konsumsi dan 2500 kkal/kap/hari pada tingkat nasional. Untuk mengetahui pola
konsumsi masyarakat baik Nasional maupun Regional, AKE tersebut perlu diterjemahkan ke
dalam satuan yang lebih dikenal oleh para perencana pengadaan pangan atau kelompok
bahan pangan.
Untuk menjaga kelangsungan hidup dan menjalankan kegiatan hidupnya. Setiap
manusia membutuhkan energi perhari yang disesuaikan dengan berat badan dan tingkat
aktivitas. Tingkat Konsumsi Energi adalah Jumlah energi total yang dikonsumsi oleh setiap
orang setiap harinya. Sedangkan tingkat konsumsi protein adalah jumlah protein total yang
dikonsumsi oleh setiap orang setiap harinya dibandingkan dengan angka kecukupan protein
yang dianjurkan ( I Dewa Nyoman Supariasa,dkk,2001:113).
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) menggambarkan persentase konsumsi energi
terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) dengan kriteria menurut Departemen Kesehatan
Tahun 1996 (PPKP BKP, 2005) sebagai berikut :
a. TKE < 70% : defisit berat.
b. TKE 60%-79% : defisit tingkat sedang.
c. TKE 80%-90% : defisit tingkat ringan.
d. TKE 90%-119% : normal (tahan pangan)
e. TKE > 120% : kelebihan/diatas AKE

C. Pola Pangan Harapan (PPH)
Pola Pangan harapan (PPH) adalah suatu komposisi pangan yang seimbang untuk
dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. PPH dapat dinyatakan (1) dalam
bentuk komposisi energi (kalori) anekaragam pangan dan/atau (2) dalam bentuk komposisi
berat (gram atau kg) anekaragam pangan yang memenuhi kebutuhan gizi penduduk. Pola
pangan harapan mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif
dan produktif